Sabtu, 26 Januari 2008

Jumat, 18 Januari 2008

pak harto

.

Kalau Ajal Saya Sampai ..
Nurul Hidayati - detikcom

Jakarta - Genap 14 hari Pak Harto dirawat di RSPP. Kondisinya tidak berubah: kritis.

Bicara kematian bukanlah hal yang tabu bagi Pak Harto. Dia telah menyiapkan "wasiat" bila ajal menjemputnya. Hal itu termuat dalam otobiografinya yang blak-blakan Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.

Bab 102 halaman 561 buku itu berjudul "Kalau Ajal Saya Sampai." Bila membaca isinya, memang ada bagian yang kurang cocok dengan kondisi sekarang yang telah berubah drastis. Maklum saja, otobiografi itu dirilis pada 1989, saat Pak Harto sedang kuat-kuatnya, saat Ibu Tien, masih setia mendampinginya. Bu Tien sendiri meninggal dunia pada 28 April 1996.

Namun tidak ada salahnya kembali mengingati pemikiran Pak Harto tersebut:

Kalau saatnya tiba saya dipanggil Yang Maha Kuasa, maka mengenai diri saya selanjutnya sudah saya tetapkan: saya serahkan kepada istri saya.

Sebetulnya istri saya telah menerima pula "Bintang Gerilya" dan "Bintang RI". Jadi, dia juga bisa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Tetapi sudahlah, ia dengan Yayasan Mangadeg Surakarta sudah merencanakan lain. Ia dengan Yayasan Mangadeg Surakarta sudah membangun makam keluarga di Mangadeg, tepatnya di Astana Giribangun. Dan masa, kan saya akan pisah dari istri saya! Dengan sendirinya saya pun akan minta dimakamkan di Astana Giribangun bersama keluarga. Kami tidak mau menyusahkan anak cucu kami, jika mereka nanti ingin berziarah.

Memang saya pun mendengar orang bicara, bahwa belum juga saya mati, saya sudah membuat kuburan. Padahal yang sebenarnya, kuburan itu kami buat untuk yang sudah meninggal, antaranya untuk ayah kami (mertua saya). Selain itu, pikiran saya menyebutkan, "Apa salahnya, sebab toh akhirnya kita akan meninggal juga." Kalau mulai sekarang kita sudah memikirkannya, itu berarti kita tidak akan menyulitkan orang lain. Asalkan tidak menggunakan yang macam-macam, apa jeleknya?

Omongan orang bahwa Astana Giribangun itu dihias dengan emas segala, omong kosong. Tidak benar! Dilebih-lebihkan. Lihat sajalah sendiri.

Yang benar, bangunan itu berlantaikan batu pualam dari Tulungagung. Tentu saja kayu-kayunya pilihan, supaya kuat. Pintu-pintu di sana, yang dibuat dari besi, adalah karya pematung kita yang terkenal G Sidharta. Alhasil, segalanya buatan bangsa sendiri.

Ibu mertua saya melakukan cangkulan pertama di Gunung Bangun yang tingginya 666 meter di atas permukaan laut itu, pada hari Rabu Kliwon, 13 Dulkangidah jimakir 1906 atau 27 November 1974. Saya bersama istri sebagai pengurus Yayasan Mangadeg Surakarta meresmikan Astana Giribangun itu pada hari Jumat Wage tanggal 26 Rejeb ehe 1908 atau 23 Juli 1976. Kebiasaan di Jawa mempergunakan candrasangkala. Maka kami terakan di sana sinengkalan: Rasa Suwung Wenganing Bumi (Rasa Ikhlas Membuka Bumi) waktu ibu melakukan cangkulan pertama itu, dan Ngesti Suwung Wenganing Bumi (Suasana Hening Membuka Bumi) waktu kami meresmikan makam keluarga Yayasan Mangadeg itu.

Pada ketiga pintu untuk masuk ke dalam bangunan itu pun ada tulisan yang mengutip pucung, berisikan pegangan hidup yang sudah diajarkan nenek moyang kita secara turun-temurun. Yakni, "hendaknya kita pandai-pandai menerima omongan orang yang menyakitkan tanpa harus sakit hati", "ikhlas kehilangan tanpa menyesal", dan "pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa".

Tak jauh dari bangunan astana itu, lebih dahulu, pada tanggal 8 Juni 1971, sudah diresmikan monumen "Tridharma", ajaran hidup bernegara yang sangat penting itu. Alhasil suasana di sana sesuai dengan lingkungannya.

Jadi, hendaknya dimaklumi bahwa kami membangun Astana Giribangun itu, kita-kira 37 km dari Solo, untuk keluarga. Bahkan, tidak hanya untuk keluarga, pengurus Yayasan Mangadeg pun bisa dimakamkan di sana. Tempat itu sudah dikapling, dan pengelolaannya diserahkan pada Yayasan Mangadeg.

Kita yang masih hidup wajib memikirkan keluarga yang sudah meninggal, seperti saya memikirkan ayah saya. Maka kami membangun makam untuk ayah, dan untuk ibu sekaligus. Di samping itu, saya pikir, baik saja kita berbuat begitu kalau kita tidak mau menyusahkan orang lain, tidak mau menyulitkan anak cucu kita. Dan di Jawa, memang biasa kita menyiapkan tempat sebelum meninggal. Kita menyadari bahwa besok lusa kita toh akan kembali.

Dihitung dari sejak lahirnya "Supersemar" sampai 1988, berarti saya memegang pucuk pimpinan sudah dua puluh dua tahun. Saya merenungkannya kembali.

Selalu, sewaktu tugas apa pun yang diberikan kepada saya, saya mohon petunjuk kepada Tuhan.
Alhamdulillah, sampai sekarang saya tidak merasa gagal dalam memegang dan melaksanakan tugas saya.

Kalau ada yang kurang berhasil, maka lantas saya mupus, pasrah. Artinya, saya berpikir, barangkali memang kemampuan saya cuma sampai di situ.

Saya telah berusaha dan nyatanya, seperti yang saya lihat dan pertimbangkan, usaha saya itu berhasil sesuai dengan kemampuan saya. Begitulah saya berpikir. Begitulah penilaian saya. Saya tak pernah merasa gagal. Tetapi, kalau ada orang yang menilai lain mengenai hasil pekerjaan saya itu, saya serahkan kembali penilaiannya itu kepada yang bersangkutan.

Demikian perasaan dan pikiran saya sejak masa revolusi. Apa yang ditugaskan kepada saya, saya kerjakan dengan sebaik-baiknya, sambil memohon bimbingan dan petunjuk kepada Tuhan.

Mengenai kesalahan, saya berpikir, "Siapa yang mengukur salah itu? Siapa yang menyalahkan?"

Sekarang, misalnya, pekerjaan sudah saya laksanakan, berjalan baik dan berhasil, menurut ukuran saya. Tetapi, kalau ada orang lain yang melihat hasil pekerjaan saya itu dari segi yang lain, lalu menilai salah atau gagal, maka saya akan berkata, "Itu urusan mereka."

Saya percaya bahwa apa yang saya kerjakan, setelah saya memohon petunjuk dan bimbingan-Nya, itu adalah hasil bimbingan Tuhan.

***
Dua bagian tidak ditulis karena kurang relevan
***

Saya sebagai manusia biasa, mempunyai keterbatasan. Baik fisik maupun psikis. Tentu saja pekerjaan-pekerjaan yang saya pikul itu sering terasa melelahkan. Akan tetapi saya merasa terhibur, karena saya merasa memperoleh kepercayaan rakyat.

Ingat, pada mulanya saya enggan menerima kedudukan sebagai Presiden. Maklumlah kiranya, tugas kepresidenan adalah pekerjaan yang berat. Tetapi akhirnya saya menerimanya juga, dan itu semua karena rakyat mendesak-desakkannya kepada saya, karena mereka menunjukkan kepercayaan kepada saya.

Di balik itu,saya berpikir, sebagai seorang warganegara yang baik, saya tidak boleh menghindarkan diri dari apa yang diharapkan oleh rakyat.

Maka saya berusaha melaksanakan kepercayaan rakyat itu dengan sebaik-baiknya.

Apalagi kalau hasil-hasil pekerjaannya itu betul-betul bisa dinikmati oleh rakyat. Saya jadi gembira karenanya. Kelelahan saya seperi hilang dengan seketika.

Nyatanya saya mendapat kepercayaan rakyat itu bukan sekali. Nyatanya saya terpilih menjadi Presiden penuh/Mandataris MPR itu lima kali sudah dan memikul tugas itu dengan kesungguhan.

Alhamdulillah, sekarang sistem yang bisa menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa sudah kita dapatkan. Terbukti diperlukan waktu berjuang dan bermufakat sampai 20 tahun untuk sampai pada titik menerima Pancasila sebagai satu-satunya asa. Tetapi bagaimanapun, kia berkesampaian.

Rantai mekanisme kepemimpinan nasional sudah berhasil kita tentukan. Urutan GBHN sudah kita pastikan dari waktu ke waktu. Itulah warisan yang kita tinggalkan kepada generasi yang akan datang.

Generasi yang akan datang tidak perlu takut, tidak perlu khawatir, bahwa kita akan meninggalkan beban yang hrus dipikul oleh mereka. Kita berusaha keras meningggalkan hal-hal yang baik. Cita-cita kita jelas, agar terciptanya masyarakat yang adil dan makmur,"tata tentrem kerta raharja, gemah ripah loh jinawi tuwuh kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku."

Marilah kita memberikan sumbangsih menurut kemampuan kita masing-masing.

Saya pun tahu, saya tidak luput dari kesalahan. Maka, seperti berulangkali pernah saya katakan, di sini pun saya ulangi lagi, hendaknya orang lain mengikuti contoh-contoh yang baik yang telah saya berikan kepada nusa dan bangsa, menjauhi hal-hal yang buruk yang mungkin telah saya lakukan selama saya memikul tugas saya.

Berkenaan dengan pemindahan kekuasaan, sudah saya tunjukkan jalannya, yakni dengan cara damai dan menurut konstitusi, yang hendaknya terus berlaku untuk masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang.

Kalau ditanya apa wasiat saya kalau saya nanti pada waktunya dipanggil Yang Maha Kuasa? Wasiat saya, sebenarnya bukan wasiat saya sendiri, melainkan wasiat atau pesan kita bersama. Yakni, agar mereka yang sesudah kita benar-benar dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara RI berdasarkan Pancasila ini.

Saya pikir, yang penting adalah suatu pengelolaan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 sedemikian rupa sehingga cita-cita perjuangan bangsa kita benar-benar terlaksana dan tercapai dengan sebaik-baiknya.

Selama bangsa Indonesia tetap berpegang kepada Pancasila sebagai landasan idiilnya, dan UUD '45 sebagai landasan konstitusionalnya, (dan tetap setia pada kepada cita-cita perjuangannya, ialah mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila), dengan sedirinya persatuan dan kesatuan bangsa itu akan terwujud. Berpegang kepada kedua hal itu, cita-cita perjuangan sebagai bangsa yang tetap ingin merdeka, berdaulat, bisa hidup dalam kemakmuran dan keadilan, niscaya akan tercapai!

Insya Allah!
( nrl / umi )

Selasa, 15 Januari 2008

Matinya Roh Idealisme

Matinya Roh Idealisme

Oleh: Rioni Imron, S.Sos

Tahun ajaran baru di jenjang pendidikan universitas merupakan sesuatu hal yang lumrah jika terdapat banyak para pelamar yang memadati ruang penerimaan mahasiswa baru. Bukan hanya berasal dari dalam daerah, namun juga dipenuhi dari pelamar asal luar daerah.

Melihat fenomena yang rutin tiap tahunnya muncul di lingkungan kampus itu, memberikan kita persfektif bahwa antusiasme para calon mahasiswa untuk dapat mengenyam dunia intelektual itu cukup besar.

Dengan banyaknya para calon mahasiswa tersebut maka kita dapat beranalogi pula bahwa, makin banyak yang akan berstatus menjadi mahasiswa, maka akan banyak pula yang akan menjadi generasi penguat benteng intelektual bangsa.

Dari pernyataan di tersebut, setidaknya kita dahulu mengenal sepak terjang mahasiswa sebagai agent of change, generasi pembaharuan. Tidak dapat dipungkiri, mulai dari terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, hingga terus bergulirnya perubahan zaman, pembangunan, kemajuan, dan lain sebagainya, tidak pernah terlepas dari peran serta, aksi, dan sumbangsih kekuatan yang berasal dari kaum mahasiswa.

Mulai dari munculnya Sumpah Pemuda, Era Orde Baru, Era Reformasi, peran serta mahasiswa sangat berperan penting dalam maju-berkembangnya bangsa ini.

Namun hingga kini, akankah jiwa-jiwa sebagai pembaharu itu masih terlihat, dirasakan, atau bahkan di sandang oleh para mahasiswa yang dikatakan kaum intelektual bangsa? Mungkin hal ini malah bisa menjadi sebuah pertanyaan retoris untuk kita pertanyakan bersama. Mengapa?

Dapat kita rasakan, atmosfer yang ada pada diri masing-masing penyandang status mahasiswa itu mulai berkurang. Jika melihat pergerakan yang di usung, dapat dikatakan sudah tidak terlihat lagi demonstrasi yang berbayang idealis. Sudah makin banyak indikasi kerapuhan idealisme mahasiswa. Boleh disebut, yang menyangkut idealisme mahasiswa adalah merupakan penjabaran dari istilah agen perubahan. Salah satunya adalah kreatifitas, pergerakan yang sehat, pemikiran, dan banyak hal yang dapat di analogikan sebagai unsur-unsur idealis.

Jika melihat fakta yang ada, kita tidak akan menjumpai lagi forum-forum mahasiswa di senggang waktu kuliah mereka untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan yang menghidupkan atmosfir kemahasiswaan. Meskipun ada, namun kuota anggota forum yang hadir dapat dihitung dengan jari sebelah tangan. Dengan tidak mendramatisir keadaan, bahkan untuk mewujudkan sebuah ide, pemikiran untuk dijadikan sebuah perwujudan kegiatan yang berpayung kepentingan masyarakat banyak, yang berpartisipasi untuk meluangkan waktu, hanya berjumlah segelintir orang, sunggu ironis memang. Sehingga, hawa kematian “jiwa-jiwa kemahasiswaan” itu kian menyengat, efeknya berdampak sungguh fantastik, salah satunya yakni, tidak ada lagi yang akan bersikap kritis terhadap segala bentuk kebijakan-kebijakan baru yang pada dasarnya tidak berpihak kepada kemajuan dan masyarakat.

Lambat laun, hal ini tentunya akan sangat berdampak buruk bagi status kemahasiswaan yang disebut sebagai benteng intelektual tersebut. Mengapa tidak, virus-virus apatisme yang melanda mahasiswa kiat merekat erat pada diri dan jiwa para mahasiswa itu. Mereka bisa jadi “mati rasa” terhadap keadaaan yang terjadi di lingkungan mereka. Baik itu di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Tak akan ada lagi pergerakan mahasiswa yang dengan mengusung nyawa idealis untuk menuju sebuah perubahan yang lebih baik di tengah-tengah masyarakat. Lebih jauhnya, akan lenyap pula identitas mahasiswa yang disebut dengan agent perubahan, sungguh menyedihkan.

Pergerakan itu akan kian redup seiring dengan berkembangnya era globalisasi yang penuh dengan benda-benda yang bernuansa hedonisme. Kebanyakan mahasiswa akan sering kita jumpai di pusat-pusat perbelanjaan, game station, dan lain sebagainya, yang akhirnya akan berdampak pula pada munculnya komunitas-komunitas baru di kalangan mahasiswa. Perkumpulan-perkumpulan itu pula yang sedikit banyak menyebabkan jati diri di kalangan mahasiswa hilang. Tidak sedikit para mahasiswa mengikuti tren yang ada, hingga segala cara pun dihalal kan demi mengikuti sebuah kehidupan yang kian lama, kian menuju ke sikap konsumerisme.

Namun, kegiatan-kegiatan seperti itu pula, tidak dapat pula diklaim sebagai penyebab apatisme yang terjadi pada diri mahasiswa saat ini. Sah-sah saja jika mereka berkumpul hingga membentuk sebuah komunitas-komunitas baru di luar agenda kampus. Toh nyatanya dapat meningkatkan pergaulan, dan relasi. Tetapi dalam menanggapi hal seperti ini, seharusnya mahsiswa juga dapat menempatkan dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sebuah mekanisme berbangsa.

Mahasiswa memiliki tanggung jawab sebagai agen perubahan itu. Mahasiswa musti slalu mengusung sikap kritis terhadap lingkungannya. Setidaknya mereka dapat menempatkan diri mereka pada masing-masing potitioning yang sesuai demi kemajuan zaman, namun tidak pula harus ortodoks hanya selalu berpegang teguh terhadap pandangan idealis yang selama ini mengukung kekebasan berekspresi mereka. Lebih lanjut, dapt dikatakan pula, ada keseimbangan setidaknya harus dijalankan dari setiap unsur untuk menuju sebuah pembetukan karakter yang bertanggung jawab.

Memang tidak ada hukum pun yang melarang seseorang untuk berekspresi, bertindak, maupun bersikap sesuai dengan kemauannya yang tidak melanggar aturan yang ada. Tapi di setiap diri mahasiswa, tentunya terdapat pagar-pagar kecil yang berselimut tanggung jawab sebagai salah satu bagian dari elemen masyarakat, sebagai generasi-generasi penerus bangsa.

Lebih lanjut, kunci menghadapi hal tersebut, dapat dimulai dari diri masing-masing mahasiswa, dengan menambah kesadaran akan pentingnya sikap merasa memiliki status, juga memiliki tanggung jawab, Begitu pun di mulai dari hal yang kecil, seperti meluangkan waktu barang sedetik untuk dapat berpartisipasi bertanggung jawab terhadap lingkungan sekitar, dan dimulai saat ini, dengan segera bergerak, mewujudkan pemikiran-pemikiran yang bernas sebagai sumbangsih status kemahasiswaan, dan tidak larut akan kehidupan apatis yang kian lama kian merenggut jiwa-jiwa, maupun jati diri yang melekat di diri para mahasiswa saat ini.

Hendaknya budaya kritis, budaya kreativitas, budaya pemikir yang di usung mahasiswa, dapat terus harum menghiasi atmosfer dunia kampus yang semakin lama semakin meredup, seiring dengan lajunya pergerakan era globalisasi yang cenderung dapat menjadi sebuah tantangan bagi kaum generasi penerus bangsa untuk mempertahankan kredibilitasnya sebagai generasi “benteng intelektual bangsa”. Mahasiswa jangan mau terseret dengan arus globalisasi yang tanpa berbekal kesadaran, dan kemampuan akan membawa ke arah penenggelaman idealisme-idealisme kemahasiswaan itu sendiri, namun hendaknya pula dapat mengekspoitasi arus tersebut menjadi senjata yang memperkuat dan memiliki manfaat bagi kemajuan hidup para mahasiswa di zaman yang kian bergerak, tanpa mengenal batas dan terus berubah, semoga.