Matinya Roh Idealisme
Oleh: Rioni Imron, S.Sos
Tahun ajaran baru di jenjang pendidikan universitas merupakan sesuatu hal yang lumrah jika terdapat banyak para pelamar yang memadati ruang penerimaan mahasiswa baru. Bukan hanya berasal dari dalam daerah, namun juga dipenuhi dari pelamar asal luar daerah.
Melihat fenomena yang rutin tiap tahunnya muncul di lingkungan kampus itu, memberikan kita persfektif bahwa antusiasme para calon mahasiswa untuk dapat mengenyam dunia intelektual itu cukup besar.
Dengan banyaknya para calon mahasiswa tersebut maka kita dapat beranalogi pula bahwa, makin banyak yang akan berstatus menjadi mahasiswa, maka akan banyak pula yang akan menjadi generasi penguat benteng intelektual bangsa.
Dari pernyataan di tersebut, setidaknya kita dahulu mengenal sepak terjang mahasiswa sebagai agent of change, generasi pembaharuan. Tidak dapat dipungkiri, mulai dari terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, hingga terus bergulirnya perubahan zaman, pembangunan, kemajuan, dan lain sebagainya, tidak pernah terlepas dari peran serta, aksi, dan sumbangsih kekuatan yang berasal dari kaum mahasiswa.
Mulai dari munculnya Sumpah Pemuda, Era Orde Baru, Era Reformasi, peran serta mahasiswa sangat berperan penting dalam maju-berkembangnya bangsa ini.
Namun hingga kini, akankah jiwa-jiwa sebagai pembaharu itu masih terlihat, dirasakan, atau bahkan di sandang oleh para mahasiswa yang dikatakan kaum intelektual bangsa? Mungkin hal ini malah bisa menjadi sebuah pertanyaan retoris untuk kita pertanyakan bersama. Mengapa?
Dapat kita rasakan, atmosfer yang ada pada diri masing-masing penyandang status mahasiswa itu mulai berkurang. Jika melihat pergerakan yang di usung, dapat dikatakan sudah tidak terlihat lagi demonstrasi yang berbayang idealis. Sudah makin banyak indikasi kerapuhan idealisme mahasiswa. Boleh disebut, yang menyangkut idealisme mahasiswa adalah merupakan penjabaran dari istilah agen perubahan. Salah satunya adalah kreatifitas, pergerakan yang sehat, pemikiran, dan banyak hal yang dapat di analogikan sebagai unsur-unsur idealis.
Jika melihat fakta yang ada, kita tidak akan menjumpai lagi forum-forum mahasiswa di senggang waktu kuliah mereka untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan yang menghidupkan atmosfir kemahasiswaan. Meskipun ada, namun kuota anggota forum yang hadir dapat dihitung dengan jari sebelah tangan. Dengan tidak mendramatisir keadaan, bahkan untuk mewujudkan sebuah ide, pemikiran untuk dijadikan sebuah perwujudan kegiatan yang berpayung kepentingan masyarakat banyak, yang berpartisipasi untuk meluangkan waktu, hanya berjumlah segelintir orang, sunggu ironis memang. Sehingga, hawa kematian “jiwa-jiwa kemahasiswaan” itu kian menyengat, efeknya berdampak sungguh fantastik, salah satunya yakni, tidak ada lagi yang akan bersikap kritis terhadap segala bentuk kebijakan-kebijakan baru yang pada dasarnya tidak berpihak kepada kemajuan dan masyarakat.
Lambat laun, hal ini tentunya akan sangat berdampak buruk bagi status kemahasiswaan yang disebut sebagai benteng intelektual tersebut. Mengapa tidak, virus-virus apatisme yang melanda mahasiswa kiat merekat erat pada diri dan jiwa para mahasiswa itu. Mereka bisa jadi “mati rasa” terhadap keadaaan yang terjadi di lingkungan mereka. Baik itu di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Tak akan ada lagi pergerakan mahasiswa yang dengan mengusung nyawa idealis untuk menuju sebuah perubahan yang lebih baik di tengah-tengah masyarakat. Lebih jauhnya, akan lenyap pula identitas mahasiswa yang disebut dengan agent perubahan, sungguh menyedihkan.
Pergerakan itu akan kian redup seiring dengan berkembangnya era globalisasi yang penuh dengan benda-benda yang bernuansa hedonisme. Kebanyakan mahasiswa akan sering kita jumpai di pusat-pusat perbelanjaan, game station, dan lain sebagainya, yang akhirnya akan berdampak pula pada munculnya komunitas-komunitas baru di kalangan mahasiswa. Perkumpulan-perkumpulan itu pula yang sedikit banyak menyebabkan jati diri di kalangan mahasiswa hilang. Tidak sedikit para mahasiswa mengikuti tren yang ada, hingga segala cara pun dihalal kan demi mengikuti sebuah kehidupan yang kian lama, kian menuju ke sikap konsumerisme.
Namun, kegiatan-kegiatan seperti itu pula, tidak dapat pula diklaim sebagai penyebab apatisme yang terjadi pada diri mahasiswa saat ini. Sah-sah saja jika mereka berkumpul hingga membentuk sebuah komunitas-komunitas baru di luar agenda kampus. Toh nyatanya dapat meningkatkan pergaulan, dan relasi. Tetapi dalam menanggapi hal seperti ini, seharusnya mahsiswa juga dapat menempatkan dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sebuah mekanisme berbangsa.
Mahasiswa memiliki tanggung jawab sebagai agen perubahan itu. Mahasiswa musti slalu mengusung sikap kritis terhadap lingkungannya. Setidaknya mereka dapat menempatkan diri mereka pada masing-masing potitioning yang sesuai demi kemajuan zaman, namun tidak pula harus ortodoks hanya selalu berpegang teguh terhadap pandangan idealis yang selama ini mengukung kekebasan berekspresi mereka. Lebih lanjut, dapt dikatakan pula, ada keseimbangan setidaknya harus dijalankan dari setiap unsur untuk menuju sebuah pembetukan karakter yang bertanggung jawab.
Memang tidak ada hukum pun yang melarang seseorang untuk berekspresi, bertindak, maupun bersikap sesuai dengan kemauannya yang tidak melanggar aturan yang ada. Tapi di setiap diri mahasiswa, tentunya terdapat pagar-pagar kecil yang berselimut tanggung jawab sebagai salah satu bagian dari elemen masyarakat, sebagai generasi-generasi penerus bangsa.
Lebih lanjut, kunci menghadapi hal tersebut, dapat dimulai dari diri masing-masing mahasiswa, dengan menambah kesadaran akan pentingnya sikap merasa memiliki status, juga memiliki tanggung jawab, Begitu pun di mulai dari hal yang kecil, seperti meluangkan waktu barang sedetik untuk dapat berpartisipasi bertanggung jawab terhadap lingkungan sekitar, dan dimulai saat ini, dengan segera bergerak, mewujudkan pemikiran-pemikiran yang bernas sebagai sumbangsih status kemahasiswaan, dan tidak larut akan kehidupan apatis yang kian lama kian merenggut jiwa-jiwa, maupun jati diri yang melekat di diri para mahasiswa saat ini.
Hendaknya budaya kritis, budaya kreativitas, budaya pemikir yang di usung mahasiswa,
dapat terus harum menghiasi atmosfer dunia kampus yang semakin lama semakin
meredup, seiring dengan lajunya pergerakan era globalisasi yang cenderung dapat
menjadi sebuah tantangan bagi kaum generasi penerus bangsa untuk mempertahankan
kredibilitasnya sebagai generasi “benteng intelektual bangsa”. Mahasiswa
jangan mau terseret dengan arus globalisasi yang tanpa berbekal kesadaran, dan
kemampuan akan membawa ke arah penenggelaman idealisme-idealisme kemahasiswaan
itu sendiri, namun hendaknya pula dapat mengekspoitasi arus tersebut menjadi
senjata yang memperkuat dan memiliki manfaat bagi kemajuan hidup para mahasiswa
di zaman yang kian bergerak, tanpa mengenal batas dan terus berubah, semoga.