Nurul Hidayati - detikcom
Jakarta - Genap 14 hari Pak Harto dirawat di RSPP. Kondisinya tidak berubah: kritis.
Bicara kematian bukanlah hal yang tabu bagi Pak Harto. Dia telah menyiapkan "wasiat" bila ajal menjemputnya. Hal itu termuat dalam otobiografinya yang blak-blakan Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
Bab 102 halaman 561 buku itu berjudul "Kalau Ajal Saya Sampai." Bila membaca isinya, memang ada bagian yang kurang cocok dengan kondisi sekarang yang telah berubah drastis. Maklum saja, otobiografi itu dirilis pada 1989, saat Pak Harto sedang kuat-kuatnya, saat Ibu Tien, masih setia mendampinginya. Bu Tien sendiri meninggal dunia pada 28 April 1996.
Namun tidak ada salahnya kembali mengingati pemikiran Pak Harto tersebut:
Kalau saatnya tiba saya dipanggil Yang Maha Kuasa, maka mengenai diri saya selanjutnya sudah saya tetapkan: saya serahkan kepada istri saya.
Sebetulnya istri saya telah menerima pula "Bintang Gerilya" dan "Bintang RI". Jadi, dia juga bisa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Tetapi sudahlah, ia dengan Yayasan Mangadeg Surakarta sudah merencanakan lain. Ia dengan Yayasan Mangadeg Surakarta sudah membangun makam keluarga di Mangadeg, tepatnya di Astana Giribangun. Dan masa, kan saya akan pisah dari istri saya! Dengan sendirinya saya pun akan minta dimakamkan di Astana Giribangun bersama keluarga. Kami tidak mau menyusahkan anak cucu kami, jika mereka nanti ingin berziarah.
Memang saya pun mendengar orang bicara, bahwa belum juga saya mati, saya sudah membuat kuburan. Padahal yang sebenarnya, kuburan itu kami buat untuk yang sudah meninggal, antaranya untuk ayah kami (mertua saya). Selain itu, pikiran saya menyebutkan, "Apa salahnya, sebab toh akhirnya kita akan meninggal juga." Kalau mulai sekarang kita sudah memikirkannya, itu berarti kita tidak akan menyulitkan orang lain. Asalkan tidak menggunakan yang macam-macam, apa jeleknya?
Omongan orang bahwa Astana Giribangun itu dihias dengan emas segala, omong kosong. Tidak benar! Dilebih-lebihkan. Lihat sajalah sendiri.
Yang benar, bangunan itu berlantaikan batu pualam dari Tulungagung. Tentu saja kayu-kayunya pilihan, supaya kuat. Pintu-pintu di sana, yang dibuat dari besi, adalah karya pematung kita yang terkenal G Sidharta. Alhasil, segalanya buatan bangsa sendiri.
Ibu mertua saya melakukan cangkulan pertama di Gunung Bangun yang tingginya 666 meter di atas permukaan laut itu, pada hari Rabu Kliwon, 13 Dulkangidah jimakir 1906 atau 27 November 1974. Saya bersama istri sebagai pengurus Yayasan Mangadeg Surakarta meresmikan Astana Giribangun itu pada hari Jumat Wage tanggal 26 Rejeb ehe 1908 atau 23 Juli 1976. Kebiasaan di Jawa mempergunakan candrasangkala. Maka kami terakan di sana sinengkalan: Rasa Suwung Wenganing Bumi (Rasa Ikhlas Membuka Bumi) waktu ibu melakukan cangkulan pertama itu, dan Ngesti Suwung Wenganing Bumi (Suasana Hening Membuka Bumi) waktu kami meresmikan makam keluarga Yayasan Mangadeg itu.
Pada ketiga pintu untuk masuk ke dalam bangunan itu pun ada tulisan yang mengutip pucung, berisikan pegangan hidup yang sudah diajarkan nenek moyang kita secara turun-temurun. Yakni, "hendaknya kita pandai-pandai menerima omongan orang yang menyakitkan tanpa harus sakit hati", "ikhlas kehilangan tanpa menyesal", dan "pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa".
Tak jauh dari bangunan astana itu, lebih dahulu, pada tanggal 8 Juni 1971, sudah diresmikan monumen "Tridharma", ajaran hidup bernegara yang sangat penting itu. Alhasil suasana di sana sesuai dengan lingkungannya.
Jadi, hendaknya dimaklumi bahwa kami membangun Astana Giribangun itu, kita-kira 37 km dari Solo, untuk keluarga. Bahkan, tidak hanya untuk keluarga, pengurus Yayasan Mangadeg pun bisa dimakamkan di sana. Tempat itu sudah dikapling, dan pengelolaannya diserahkan pada Yayasan Mangadeg.
Kita yang masih hidup wajib memikirkan keluarga yang sudah meninggal, seperti saya memikirkan ayah saya. Maka kami membangun makam untuk ayah, dan untuk ibu sekaligus. Di samping itu, saya pikir, baik saja kita berbuat begitu kalau kita tidak mau menyusahkan orang lain, tidak mau menyulitkan anak cucu kita. Dan di Jawa, memang biasa kita menyiapkan tempat sebelum meninggal. Kita menyadari bahwa besok lusa kita toh akan kembali.
Dihitung dari sejak lahirnya "Supersemar" sampai 1988, berarti saya memegang pucuk pimpinan sudah dua puluh dua tahun. Saya merenungkannya kembali.
Selalu, sewaktu tugas apa pun yang diberikan kepada saya, saya mohon petunjuk
kepada Tuhan.
Alhamdulillah, sampai sekarang saya tidak merasa gagal dalam memegang dan melaksanakan
tugas saya.
Kalau ada yang kurang berhasil, maka lantas saya mupus, pasrah. Artinya, saya berpikir, barangkali memang kemampuan saya cuma sampai di situ.
Saya telah berusaha dan nyatanya, seperti yang saya lihat dan pertimbangkan, usaha saya itu berhasil sesuai dengan kemampuan saya. Begitulah saya berpikir. Begitulah penilaian saya. Saya tak pernah merasa gagal. Tetapi, kalau ada orang yang menilai lain mengenai hasil pekerjaan saya itu, saya serahkan kembali penilaiannya itu kepada yang bersangkutan.
Demikian perasaan dan pikiran saya sejak masa revolusi. Apa yang ditugaskan kepada saya, saya kerjakan dengan sebaik-baiknya, sambil memohon bimbingan dan petunjuk kepada Tuhan.
Mengenai kesalahan, saya berpikir, "Siapa yang mengukur salah itu? Siapa yang menyalahkan?"
Sekarang, misalnya, pekerjaan sudah saya laksanakan, berjalan baik dan berhasil, menurut ukuran saya. Tetapi, kalau ada orang lain yang melihat hasil pekerjaan saya itu dari segi yang lain, lalu menilai salah atau gagal, maka saya akan berkata, "Itu urusan mereka."
Saya percaya bahwa apa yang saya kerjakan, setelah saya memohon petunjuk dan bimbingan-Nya, itu adalah hasil bimbingan Tuhan.
***
Dua bagian tidak ditulis karena kurang relevan
***
Saya sebagai manusia biasa, mempunyai keterbatasan. Baik fisik maupun psikis. Tentu saja pekerjaan-pekerjaan yang saya pikul itu sering terasa melelahkan. Akan tetapi saya merasa terhibur, karena saya merasa memperoleh kepercayaan rakyat.
Ingat, pada mulanya saya enggan menerima kedudukan sebagai Presiden. Maklumlah kiranya, tugas kepresidenan adalah pekerjaan yang berat. Tetapi akhirnya saya menerimanya juga, dan itu semua karena rakyat mendesak-desakkannya kepada saya, karena mereka menunjukkan kepercayaan kepada saya.
Di balik itu,saya berpikir, sebagai seorang warganegara yang baik, saya tidak boleh menghindarkan diri dari apa yang diharapkan oleh rakyat.
Maka saya berusaha melaksanakan kepercayaan rakyat itu dengan sebaik-baiknya.
Apalagi kalau hasil-hasil pekerjaannya itu betul-betul bisa dinikmati oleh rakyat. Saya jadi gembira karenanya. Kelelahan saya seperi hilang dengan seketika.
Nyatanya saya mendapat kepercayaan rakyat itu bukan sekali. Nyatanya saya terpilih menjadi Presiden penuh/Mandataris MPR itu lima kali sudah dan memikul tugas itu dengan kesungguhan.
Alhamdulillah, sekarang sistem yang bisa menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa sudah kita dapatkan. Terbukti diperlukan waktu berjuang dan bermufakat sampai 20 tahun untuk sampai pada titik menerima Pancasila sebagai satu-satunya asa. Tetapi bagaimanapun, kia berkesampaian.
Rantai mekanisme kepemimpinan nasional sudah berhasil kita tentukan. Urutan GBHN sudah kita pastikan dari waktu ke waktu. Itulah warisan yang kita tinggalkan kepada generasi yang akan datang.
Generasi yang akan datang tidak perlu takut, tidak perlu khawatir, bahwa kita akan meninggalkan beban yang hrus dipikul oleh mereka. Kita berusaha keras meningggalkan hal-hal yang baik. Cita-cita kita jelas, agar terciptanya masyarakat yang adil dan makmur,"tata tentrem kerta raharja, gemah ripah loh jinawi tuwuh kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku."
Marilah kita memberikan sumbangsih menurut kemampuan kita masing-masing.
Saya pun tahu, saya tidak luput dari kesalahan. Maka, seperti berulangkali pernah saya katakan, di sini pun saya ulangi lagi, hendaknya orang lain mengikuti contoh-contoh yang baik yang telah saya berikan kepada nusa dan bangsa, menjauhi hal-hal yang buruk yang mungkin telah saya lakukan selama saya memikul tugas saya.
Berkenaan dengan pemindahan kekuasaan, sudah saya tunjukkan jalannya, yakni dengan cara damai dan menurut konstitusi, yang hendaknya terus berlaku untuk masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
Kalau ditanya apa wasiat saya kalau saya nanti pada waktunya dipanggil Yang Maha Kuasa? Wasiat saya, sebenarnya bukan wasiat saya sendiri, melainkan wasiat atau pesan kita bersama. Yakni, agar mereka yang sesudah kita benar-benar dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara RI berdasarkan Pancasila ini.
Saya pikir, yang penting adalah suatu pengelolaan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 sedemikian rupa sehingga cita-cita perjuangan bangsa kita benar-benar terlaksana dan tercapai dengan sebaik-baiknya.
Selama bangsa Indonesia tetap berpegang kepada Pancasila sebagai landasan idiilnya, dan UUD '45 sebagai landasan konstitusionalnya, (dan tetap setia pada kepada cita-cita perjuangannya, ialah mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila), dengan sedirinya persatuan dan kesatuan bangsa itu akan terwujud. Berpegang kepada kedua hal itu, cita-cita perjuangan sebagai bangsa yang tetap ingin merdeka, berdaulat, bisa hidup dalam kemakmuran dan keadilan, niscaya akan tercapai!
Insya Allah!
( nrl / umi )